Rabu, 29 Mei 2013

Pencabulan Marak Bencana Akibat Sekulerisme dan Liberalisme


Kasus pencabulan telah jadi masalah serius di negeri ini. Kasusnya sudah hampir harian.  Di Sleman seorang siswi SMK diperkosa bergiliran oleh sekelompok pemuda yang sebagian adalah kawan korban, lalu dibunuh. Di Bengkulu, seorang ibu rumah tangga melampiaskan nafsu syahwatnya dengan memaksa segelintir remaja yang notabene tetangganya.


Aksi bejat pencabulan bahkan juga dilakukan oleh anak SD. Di  Gowa, Sulawesi Selatan, akibat kecanduan film porno lima (5) orang siswa SD mencabuli siswi rekannya sendiri. Di Jambi seorang siswa SD nekat mencabuli balita umur 2 tahun anak tetangganya.

Ironisnya, di dunia pendidikan para pendidik yang harusnya digugu dan ditiru malah melakukan kejahatan asusila itu. Di Jakarta, seorang wakasek SMA negeri melakukan pencabulan berulang-ulang terhadap siswinya. Di Cilegon seorang guru juga tega mencabuli siswinya di ruang laboratorium sekolah.

Bahkan guru ngaji yang juga seharusnya mengajarkan akhlakul karimah pun ikut-ikutan melakukan pencabulan. Di Lampung Tengah dan Batam, dua orang guru ngaji melakukan perbuatan terkutuk itu kepada santri-santrinya.

Akibat Sekulerisme dan Kebebasan

Ada asap pastinya ada api. Jika direnungkan, maraknya pencabulan dan perkosaan berujung pada sekulerisme dan kebebasan. Sekulerisme meminggirkan keimanan dan ketakwaan.  Jadilah, masyarakat sekarang ibarat mobil remnya blong.  Sementara paham dan praktek kebebasan ibarat gas yang mendorong, memacu dan membuka peluang terjadinya pencabulan dan perkosaan.

Sudah begitu, berbagai pemicu syahwat dan berbagai hal yang membuka peluang terjadinya kejahatan itu begitu marak dan tersebar luas.  Tindakan penguasa untuk mencegah, menindak dan menanggulanginya juga terlihat sangat minim. Disisi lain, sistem hukum yang seharusnya berfungsi sebagai palang terakhir nyatanya begitu lemah dan malfungsi.

Pemicu syahwat seperti pornografi dan pornoaksi begitu marak beredar di masyarakat.  Konten pornografi dan pornoaksi tetap begitu banyak meruyak di dunia maya.  Dengan kecanggihan alat komunikasi atau gadget, konten pornografi makin mudah diakses dan disebar. Kasus pencabulan oleh 5 siswa SD kepada kawannya salah satu bukti begitu merusaknya efek film porno. Bila bocah SD saja bisa mengakses video porno apalagi orang dewasa.

Muatan pornografi juga banyak terpampang di media cetak dan elektronik. Banyak tayangan majalah dan di televisi mengarahkan pada kehidupan bebas dan mengumbar aurat wanita. UU Pornografi tidak melarang produksi dan penyebaran foto atau gambar maupun film yang memperlihatkan aurat wanita atau adegan persetubuhan yang disamarkan. Film-film yang banyak muatan erotis terus marak di layar bioskop.

Peluang kejahatan itu makin terbuka dengan begitu bebas dan intimnya pergaulan laki-laki perempuan. Banyak wanita biasa bepergian di malam hari seorang diri. Banyak wanita tak risih bepergian dengan laki-laki, termasuk yang baru dikenal. Kasus pemerkosaan seorang siswi SMP oleh 10 orang pria di Jakarta pada awal April lalu berawal dari janji pertemuan korban dengan seorang pria yang dikenalnya di jejaring sosial. Kasus perkosaan yang berujung pembunuhan terhadap seorang siswi di Sleman oleh sekelompok remaja, juga dengan skenario yang sama.

Banyak kasus pemerkosaan terjadi karena korban masuk perangkap pelaku; diajak jalan atau bertemu di suatu tempat untuk kemudian dicabuli. Semua itu sulit terjadi seandainya kaum wanita menjaga diri untuk tidak bercampur baur atau bepergian dengan laki-laki secara bebas.

Di sisi lain, tak sedikit perempuan berpakaian minim yang mengumbar aurat, sensualitas bahkan erotisme di muka umum. Disadari atau tidak, hal itu berpeluang mengundang kejahatan seksual paling tidak membangkitkan nafsu syahwat. Ketua MUI Amidhan mengatakan sering terjadinya kasus perkosaan dikarenakan dua hal; kaum wanita keluar rumah dengan pakaian minim, dan makin banyaknya lelaki berperilaku menyimpang.

Jika di negeri ini wanita begitu bebas berbusana minim dan mengumbar sensualitas bahkan erotisme, lain lagi di Korsel.  Pada bulan Maret lalu Presiden Korea Selatan Park Guen-Hye mengeluarkan dekrit yang melarang pemakaian rok mini di muka umum. Wanita yang kedapatan memakai rok mini akan dikenakan denda sebesar 50 ribu won atau sekitar Rp 440 ribu. Sementara itu di Italia, khususnya di kota Castellammare, Stabia,  telah lama berlaku larangan mengenakan “pakaian sangat minim” bagi kaum wanita. Denda akan dijatuhkan bila ada wanita yang nekat melakukannya.

Semakin banyaknya kejahatan seksual menandakan semakin banyak pria berperilaku menyimpang. Mereka tidak lagi punya rasa hormat kepada kaum wanita. Bagi mereka kaum perempuan hanyalah makhluk lemah dan obyek pelampiasan hawa nafsu yang bisa ditindas.  Hal itu seakan melengkapi anggapan dan perlakuan dunia bisnis yang memperlakukan perempuan layaknya obyek bisnis atau pemanis barang dagangan.

Faktor lemahnya hukum turut memicu kian derasnya kejahatan kelamin ini. Hukuman bagi pelaku yang ada dinilai banyak kalangan tidak memberikan efek jera dan melindungi kaum wanita. Hukuman bagi pelaku pelecehan seksual, pencabulan atau perkosaan begitu ringan, tidak punya efek jera.

Semua itu jadi bukti, sekulerisme demokrasi dengan sistem dan hukum produk manusianya, tak berdaya membangun masyarakat yang bersih, berakhlak mulia dan menjunjung nilai-nilai luhur. Sistem saat ini justru menjadi bagian dari pemicu dan sebab mendasar berbagai kejahatan yang terjadi itu.

Syariah Islam Solusinya

Kejahatan seksual niscaya tidak akan terjadi seandainya masyarakat memiliki ketakwaan yang kuat. Seorang muslim yang bertakwa akan tidak berani melakukan penganiayaan kepada orang lain, apalagi kepada kaum wanita.  Dia yakin bahwa perbuatan jahat sekecil apapun tetap akan dihisab dan dibalas oleh Allah SWT. Maka, sekalipun ada peluang melakukan kejahatan seorang yang bertakwa tidak akan mau melakukannya.

Ketakwaan itu akan membuat kaum muslimin memandang wanita sebagai insan yang setara dengan pria. Bukan sebagai komoditi yang bisa dieksploitasi sebagaimana pandangan ajaran kapitalisme liberalisme. Dengan pandangan yang dilandasi takwa maka interaksi antara pria dan wanita akan berjalan harmonis dan saling memelihara kemuliaan.

Selain itu, aksi kejahatan seksual juga tidak akan meruyak seandainya sistem pergaulan Islam diberlakukan. Dalam pergaulan Islam, laki-laki diperintahkan untuk menundukkan pandangan dari memandang aurat perempuan dan untuk menjaga kemaluan.

﴿ قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ﴾

Katakanlah kepada mukmin laki-laki: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya” (TQS. an-Nûr [24]: 30).

Di sisi lain, para muslimah diperintahkan untuk berpakaian menutup aurat dan tidak menampakkan aurat mereka kepada laki-laki yang selain mahram (QS an-Nur [24]: 31).  Begitupun ketika keluar rumah, para wanita diperintahkan selain mengenakan kerudung juga mengenakan jilbab yakni semacam baju kurung atau jubah di luar pakaian rumahan mereka (QS al-Ahzab [33]: 59).  Selain itu Islam juga melarang perempuan berkhalwat (berduaan) dengan laki-laki dan melarangnya bepergian kecuali ia disertai mahramnya. Rasul bersabda:

« لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ »

Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama perempuan itu mahram (HR al-Bukhari)

Islam makin menutup celah kejahatan seksual dengan melarang ikhtilath (campur baur) laki-laki dengan perempuan.  Kehidupan laki-laki dengan perempuan pada dasarnya terpisah, kecuali pertemuan dan interaksi yang dibenarkan oleh syariah seperti dalam rangka muamalah, urusan medis, pendidikan, dsb.  Maka di dalam Islam tidak akan dijumpai pria dan wanita berbaur di kafe, bar, night club, di kolam renang, dsb.

Negara juga berkewajiban untuk menjaga dan menertibkan pergaulan laki-laki dan perempuan agar tidak bercampur baur. Pada masa Nabi SAW. Laki-laki dan perempuan dipisahkan baik pada shalat berjamaah maupun ketika mereka pulang ke rumah. Ummu Salamah ra. menceritakan: “Di masa Rasulullah saw, para wanita yang ikut shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah SAW dan jamaah laki-laki tetap diam di tempat mereka untuk waktu yang Allah kehendaki. Bila Rasulullah SAW bangkit, bangkit pula para laki-laki tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 866, 870).

Islam tegas melarang apa saja yang mendekatkan kepada zina.  Untuk itu negara harus melarang semua faktor yang bisa memicu dan mendorong ke arah sana, seperti konten pornografi dan pornoaksi.  Negara juga diwajibkan untuk membina keimanan dan ketakwaan masyarakat termasuk mengajarkan hukum-hukum syariah kepada mereka.

Terakhir, Islam menjatuhkan sanksi hukum yang tegas yang bisa mencegah kejahatan dan memberi efek jera. Abdurrahman al-Malikiy di dalam Nizhâm al-Uqûbât menuliskan bahwa pelaku pelecehan atau pencabulan bila tidak sampai memerkosa korbannya maka akan dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Tetapi bila memerkosa, maka pelakunya dijilid 100 kali jika ghayru mukhshan-belum pernah menikah- (QS an-Nur [24]: 2); dan dirajam hingga mati jika pelakunya mukhshan (sudah pernah menikah). Jika disertai kekerasan, maka atas tindakan kekerasan itu juga dijatuhkan sanksi tersendiri sesuai hukum syara’.

Wahai kaum muslimin!
Sekulerisme demokrasi terbukti gagal melindungi para wanita.  Kemuliaan para wanita hanya bisa terjaga dengan syariah Islam.  Maka sudah saatnya syariah Islam segera kita terapkan kembali di bawah naungan Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar:
Biaya yang harus dikeluarkan setiap calon anggota legislatif pada Pemilu 2014 diyakini akan lebih membengkak dibandingkan pada Pemilu 2009.  Biaya tersebut bahkan bisa lebih besar dibandingkan pendapatan resmi yang sah anggota DPR selama lima tahun menjabat (Kompas, 23/4).
  1. Itu artinya, pengurasan uang rakyat akan makin deras. Kepentingan rakyat akan makin terabaikan.
  2. Itulah bukti bobroknya sistem demokrasi, sehingga tak layak untuk terus dipertahankan.
  3. Campakkan demokrasi dan ganti dengan penerapan syariah Islam, niscaya uang rakyat benar-benar berguna demi kemaslahatan rakyat dan urusan rakyat akan benar-benar terurus.
[Al Islam 564/www.al-khilafah.org]

Khilafah Bukan Sistem Antroposentris


Respon balik atas tulisan Rusdianto dengan judul "Kode Moral dan Muktamar Pancasila".

Will Durrent (1885-1981), sejarawan terkemuka dari barat mengatakan: Agama (Ideologi) Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol.

Islam pun telah memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupannya, dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan mereka.

Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh padanya pada saat ini [1926] sekitar 350 juta jiwa. (Will Durant, The Story of Civilization; vXIII).

Sebelumnya terlantun ucap terima kasih pada saudara Rusdianto atas tanggapan artikel saya berjudul "Muktamar Khilafah untuk Indonesia lebih baik" (detik.com 06/05) melalui tulisan "Kode Moral dan Muktamar Pancasila" (detik.com 20/05).

Meski sejatinya hanya sedikit menanggapi apa yang saya tulis. Kecuali hanya mempermasalahkan antara khilafah dengan Pancasila.

Menyoal dimensi harapan perubahan Paulo Freire (1921-1997), tentu tak bisa disamakan dengan dimensi educacao (edukasi) dari muktamar Khilafah.

Meski Freire juga menganut metode perubahan non violence. (Fr. Wahoni Niti Prawiro, Teologi Pembebasan). Paulo seperti ditulis D. Collins dalam "Paulo Freire: Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya" dikenal memiliki pemikiran Katolik sekuler, mengakui eksistensi Tuhan, tapi enggan melibatkan Tuhan dalam kehidupan publik.

Hal itu seperti tertuang dalam gagasan-gagasannya dikenal bersifat antroposentris.

Perubahan pada konsepsi ideologi Islam tidaklah antroposentris. Melainkan perubahan yang tidak memisahkan Tuhan dari praksis kehidupan. Beberapa pilar dari negara khilafah ialah pertama: kedaulatan berada ditangan syara' (as-siyadah li as syar'i).

Artinya hukum Al-Quran dan As-Sunnah adalah sumber hukum tertinggi. Kedua: kekuasaan ditangan umat (as sulthan li al ummah).

Mengandung maksud, umatlah yang berhak memilih pemimpin untuk menjalankan roda kekuasaan. Ketiga: mengangkat satu khalifah saja untuk seluruh kaum muslim. Keempat: Hanya khalifah yang berhak melegislasi UU syara', dan UU yang lain.

Pengambilan pendapat untuk pelegislasian UU pada sistem Islam bisa diklasifikasikan sebagai berikut: Perkara-perkara yang menyangkut hukum syara' maka UU nya ditetapkan berdasar kekuatan dalil syara'.

Perkara yang menyangkut keahlian dan pengetahuan, ditetapkan kepada orang ahli dibidang tersebut. Sedangkan masalah tehnis, bisa dengan suara mayoritas (voting).

"Not khilafah, not is women" meminjam istilah yang disinggung Rusdianto adalah sebagai salah satu contoh perkara yang menyangkut hukum syara', benarlah wanita tidak diizinkan syara' duduk sebagai khalifah.

Tapi sebagaimana laki-laki, ternyata oleh Allah Swt tidak diizinkan mengandung dan melahirkan calon khalifah. Apakah kita pernah protes?

Cita-cita tegaknya khilafah merupakan harapan yang dibangun dari keyakinan (confidence) atas janji Tuhan (Allah). Jika ini disebut utopia atau bahasa halusnya harapan tak berujung seperti diungkap Rusdianto, itu seperti yang biasa diutarakan oleh orang-orang sekuler-liberal.

Tapi anehnya jika ini dianggap utopia kenapa harus repot menghadang laju perjuangan. Apalagi kemudian ditabrakkan dengan pancasila.

Seperti apa pancasila? pancasila adalah sebuah filosofi. Rumusannya tidak cukup manakala disebut sebagai ideologi. Ketika zaman orla nuansa sosialisme begitu mendominasi.

Lalu pada massa orba teramat kental dengan ideologi kapitalisme. Pasca reformasi jusru semakin liberal. Jadi kenapa ideologi Islam ketika ingin tampil harus dibenturkan dengan pancasila. Sebagaimana bisa dilihat dalam tulisan saya sebelumnya (baca: Islam dan Pancasila, detik.com 31/05/11).

Jika mau jujur pada sejarah, para komando penggerak revolusi, founding fathers negri ini secara resmi melahirkan piagam Jakarta yang berlatar belakang ideologi Islam.

Sebelum ada manuver tidak sehat dari segelintir pihak. Karena mereka yang brilliant itu sadar betul Islam adalah ideologi paling pas bagi Indonesia.

Bahkan bisa ditengok pada era sebelumnya, yakni pasca runtuhnya khilafah Turki Ustmani tahun 1924, umat Islam Indonesia merespon sigap untuk segera membentuk kembali institusi pemersatu umat dan pelaksana syariah itu.

Kongres (seperti muktamar) Islam Luar Biasa digelar pada tanggal 24-27 Desember 1924 di Surabaya. Kongres ini dihadiri oleh para ulama dan 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat maupun cabang. Ada tiga keputusan yang dihasilkan dari kongres ini.

Pertama, wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan Khilafah. Kedua, disepakati akan terus didirikan Comite-Chilafaat di seluruh Hindia-Timur (Indonesia).

Dan terakhir, diputuskan akan mengirimkan tiga orang utusan sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres di Kairo dengan enam butir mandat yang telah disepakati.

Ketiga utusan tersebut adalah Surjopranoto dari Sarekat Islam, Haji Fachroddin dari Muhammadiyah dan K. H. A. Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi yang kemudian menjadi salah seorang pendiri NU. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942).

Uji kelayakan

Pada selanjutnya saudara Rusdianto menyebut ideologi negara yang diterapkan saat ini mampu menjadi alat penjaga persatuan dan kesatuan. Jika benar tentu Timor Timur tak perlu lepas. Atau mesti tak ada gerakan-gerakan pemberontak seperti PKI, separatis seperti GAM, RMS atau OPM.

Pun jika sekulerisme mampu menciptakan perdamaian kenapa penindasan justru terjadi dimana-mana. Mengapa kebudayaan bisu merebak ketika terjadi "genosida" di Myanmar, Palestina, Irak, dan seterusnya.

Ketika sekulerisme diklaim dapat menghapus perbudakan tapi kenapa para buruh misalnya terus berteriak atas ketidakadilan.

Bagaimana dengan khilafah? simak pengakuan jujur lagi dari Will Durrent juga dalam The Story of civilization: "Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka.

Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.

Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad".

Perlakuan negara khilafah terhadap non-muslim ialah. Pertama: seluruh hukum Islam diterapkan kepada kaum muslim. Kedua: Non muslim dibolehkan tetap memeluk agama mereka dan beribadah berdasarkan keyakinannya.

Ketiga: Memberlakukan non muslim dalam urusan makan dan pakaian sesuai agama mereka dalam koridor peraturan umum.

Keempat: Urusan pernikahan dan perceraian antar non muslim diperlakukan menurut aturan agama mereka. Kelima: Dalam bidang publik seperti muamalah, uqubat (sanksi), sistem pemerintahan, perekonomian, dan sebagainya, negara menerapkan syariat Islam kepada seluruh warga Negara baik muslim maupun non muslim.

Keenam: Setiap warga Negara yang memiliki kewarganegaraan Islam adalah rakyat Negara, sehingga Negara wajib memelihara mereka seluruhnya secara sama, tanpa membedakan muslim maupun non muslim.(Taqiyyudin An-Nabhani, Daulah Islam)

Bias moral

Justru disini letak gagap moral sistem sekulerisme. Ketika tidak ada standar baku atas nilai moral. Berbagai polemik muncul di permukaan. Sebagai contoh bagaimana baru saja bergulir pro-konra kumpul kebo. Standar moral sistem sekulerisme sangat tidaklah jelas. Tergantung kebiasaan disuatu tempat diwaktu tertentu.

Boleh jadi saat manusia melakukan sesuatu jika itu bertentangan dengan kebiasaan moral di suatu tempat, maka bisa dianggap amoral.

Namun belum tentu di tempat lain dianggap amoral. Hal itu berbeda dengan sistem khilafah, sistem Islam Islam menetapkan standar moral-amoral adalah sesuai dengan ketentuan hukum syara'.

Allah Swt. Berfirman: "Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. 

Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah: 48).

Sudara Rusdianto mengambil potongan ayat diatas dan menafsirkan nyaris sama seperti tafsiran jahil aktivis JIL (Jaringan Islam Liberal), sebagaimana pernah ditulis Ahmad Syams "Syariat, Untuk Apa?".

Padahal sebagaimana penjelasan Ibnu katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, Allah menyuruh Rasulullah saw supaya memutuskan perkara diantara umat manusia dengan hukum yang terdapat dalam kitab Al-Quran.

Ayat ini juga menceritakan bahwa tiap-tiap umat, yakni umat-umat sebelum zaman Muhammad Saw diberi aturan yang berbeda-beda melalui para Rasul utusan-Nya. Ibnu Katsir juga mengatakan, kepunyaan Allahlah hikmah yang baik dan mendalam.

Syariat yang dibawa Rasul yang agung ini (Muhammad Saw), merupakan syariat penutup yang kemudian dijadikan Allah sebagai syariat yang menghapus seluruh syariat sebelumnya, dan Dia jadikan syariat Nabi Saw berlaku bagi seluruh penghuni bumi, baik jin maupun manusia.

Berlindung dibalik pancasila atas kesekuleran pikir tentu dapat mengelabui beberapa pihak saja. Pemberantasan 'buta huruf' kalam Ilahi tetap harus diupayakan. Khilafah Practica de liberdade (pelaksana pembebas) Indonesia dan seluruh umat.

Membebaskan penghambaan kepada selain-nya. Membebaskan segala bentuk penjajahan. Bagaimana mungkin mengakui Al-Quran menjadikan negara sebagai alat untuk mencapai kemenangan banyak manusia di muka bumi tapi menolak dari totalitas penerapan Al-Quran? sungguh eksentrik.

*Penulis adalah Pemerhati Politik dan Staf Humas HTI Soloraya


Ali Mustofa
Gang Nusa Indah, Cemani, Surakarta
alie_jawi@yahoo.com
083866242539
[detik/www.al-khilafah.org]

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons